Peran Psikologi Intelijen Mengasah Insting Alpha Oleh: Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Intelijen)

  • Redaksi
  • Rabu, 04 Mei 2022 21:43
  • 457 Lihat
  • Berita Umum

BANDUNG - Dinamika perkembangan lingkungan strategis seringkali berubah dengan sangat cepat dan terkadang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Perubahan dinamika ini bisa terjadi di tingkat nasional, regional ataupun internasional, dimana satu sama lain pada akhirnya saling mempengaruhi. Terutama pada variabel – variabel yang dinilai sensitif terhadap suatu kejadian, misalnya variabel ekonomi, variabel politik, dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah peran Intelijen menjadi sangat penting agar bisa menyampaikan informasi yang akurat, tepat, cepat, cermat dan valid kepada pimpinan, sehingga pimpinan bisa mengambil keputusan atau kebijakan yang sesuai dalam merespon dinamika perkembangan situasi yang relevan. 

Dalam situasi seperti itu, maka tentu sangat dibutuhkan SDM – SDM Intelijen yang handal dan profesional. Namun semua ini tentu bukan barang jadi, melainkan sebuah rangkaian proses yang harus dilalui sehingga para intelijen memiliki dan memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Secara umum ada 3 rangkaian proses yang akan dilalui yaitu pertama, seleksi psikologi terhadap kandidat dalam rangka menemukan calon yang memiliki kesiapan mental, kecerdasan, keterampilan olah pikir, kondisi psikologi dan fisik yang prima. Kedua, pembinaan mental psikologi yang berkesinambungan ketika sudah menjadi anggota, terutama saat akan mengikuti pendidikan lanjutan di bidang intelijen atau saat akan menjalankan tugas dalam operasi – operasi khusus. Ketiga, pembinaan mental psikologis jika gagal dalam pelaksanaan tugas, ataupun saat memasuki masa purna tugas. Semua rangkaian tes psikologi ini pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui kesiapan mental dan kejiwaan personil.

Coba perhatikan sejarah, biografi dan kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir Putin dimana saat ini sedang menjadi perhatian dunia karena keberaniannya dalam menentang hegemoni barat, AS dan sekutu NATO-nya yang dimanifestasikan dalam invasi Rusia terhadap Ukraina. Vladimir Putin dikenal juga sebagai salah satu pemimpin yang suka memainkan psikologi lawannya, dimana Ia kerap datang telat ketika akan bertemu dengan para kepala negara lain, tetapi selalu tepat waktu saat konferensi pers atau wawancara. Ia bawa anjing saat bertemu Angela Merkel karena tahu pemimpin Jerman itu takut pada anjing. Tak heran, jika mantan agen intelijen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) ini disebut tipe kepemimpinan Alpha, dengan visi besarnya terkait kejayaan masa lalu Uni Soviet.

Jika dilihat dari perspektif kajian psikologi kepemimpinan disebut Alpha Instinct, yaitu kecenderungan seseorang untuk menjadi pemimpin yang dominan dan cenderung agresif untuk mendapatkan rasa hormat, didengarkan, atau diikuti oleh orang lain. Putin juga dikenal piawai dalam  memainkan psikologi lawan, misalnya saat bertemu dengan Angela Merkel dan utusan Jepang ia  membawa anjing. Di samping memainkan rasa takut “lawan”, tentunya ada “pesan psikologi” yang ingin ia sampaikan dalam bahasa perilakunya. Disinilah kepiawaian dan pengalamannya di bidang intelijen tidak bisa ia lepaskan dalam konteks diplomasi internasional.

Apalagi dinamika ancaman yang muncul saat ini tidak terbatas pada ancaman fisik militer, tetapi juga terorisme, konflik komunal, penyelundupan, narkoba, human trafficking, illegal logging, money laundring, kriminalitas virtual, dan sebagainya. Padahal secara fisik pun, persenjataan militer terus dikembangkan dan semakin mengkhawatirkan. Lihat saja bagaimana perkembangan teknologi bom nuklir, bom kimia, bom biologis dan bom kombinasi dari semuanya, hingga lahirnya bom thermobaric. Disinilah kembali peran strategis intelijen akan menjadi pertaruhan keselamatan sebuah bangsa, dimana mereka harus mampu memberikan peringatan atau penginderaan dini (early warning) kepada para pembuat keputusan dalam menghadapi ancaman-ancaman tadi. Dengan demikian SDM intelijen yang menguasai anatomi dan isu-isu intelijen mutakhir guna menangkal berbagai ancaman sangat diperlukan. Sebaiknya hindari pemikiran dan perasaan jumawa, dimana merasa bahwa ilmu intelijen sendiri sudah cukup mumpuni. Perlu diingat bahwa ilmu intelijen itu sangat dinamik dan harus mampu merespon setiap perkembangan situasi dengan cepat, maka literasi, kemampuan adaptasi dan pembentukan jaringan intelijen harus menjadi karakter yang melekat “built in” dalam SDM intelijen Indonesia.

Dalam implementasi di bidang intelijen, salah satu ilmu psikologi terapan yang banyak digunakan adalah psikologi kognitif, yaitu ilmu pengetahuan yang secara perspektif mengkhususkan diri pada lingkup perspektif pemikiran ingatan manusia. Psikologi kognitif merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari proses mental dan pada umumnya membahas mengenai bagaimana cara berfikir, melihat, daya ingat, dan belajar dari seseorang. Fokus utama dari ilmu psikologi kognitif adalah mengenai bagaimana cara manusia memperoleh, memproses, serta menyimpan informasi.

Begitupun jika merujuk pada teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget yang mengemukakan beberapa hukum tentang kognitif, yaitu setiap orang punya aspek kognitif, yang terdiri dari aspek-aspek struktural intelektual. Perkembangan kognitif adalah hasil interaksi dari kematangan organisme dan pengaruh lingkungan. Proses kognitif itu meliputi aspek persepsi, ingatan, pikiran, simbol-simbol, penalaran dan pemecahan persoalan.

Sementara itu, ruang lingkup studi dalam psikologi kognitif meliputi Persepsi (Perseption), Pengambilan pola (Pattern Recognition), Perhatian (Attention), Ingatan (Memory), Imajeri (Imagery), Bahasa (Language), Penalaran (Reasoning), Pembuatan keputusan (Decision Making), Pemecahan masalah (Problem Solving), Pembentukan konsep (Concept Formastion or Learning), Perkembangan kognitif (Cognitive Develoment), Inteligensi manusia (Human Intelligence), Emosi dan proses kognitif (Emotion and Cognitive Processes)

Dari ruang lingkup bahasan yang dijelaskan dalam pembahasan psikologi kognitif ini menjadi saat penting untuk diterapkan dalam bidang intelijen. Mulai dari saat rekruitmen, pendidikan dan pengembangan, pembinaan berkelanjutan saat pelaksanaan tugas – tugas, dan masa ‘purna’ tugas. Itulah sebabnya pendidikan dan latihan berkelanjutan menjadi salah satu instrumen penting dalam membentuk karakter dan watak intelijen yang memiliki basis fundamental kesemaptaan psikologi. 

Referensi :

- Brigham, C. C. (1923). A study of American intelligence. Princeton, NJ: Princeton University Press. 

- Davenport, C. (1910). Eugenics—The science of human improvement by better breeding. New York, NY: Henry Holt and Co. 

- Pastore, N. (1978). The army intelligence tests and Walter Lippmann. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 14, 316-327. 

- Samelson, F. (1977). World War I intelligence testing and the development of psychology. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 13, 274-282. 

- Von Mayrhauser, R. T. (1989). Making intelligence functional: Walter Dill Scott and applied psychological testing in World War I. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 25, 60-72. 

- Yerkes, R. M. (ed.). (1921). Psychological examining in the United States Army. Memoirs of the National Academy of Sciences, 15, 1-890.

( Cp )

Komentar

0 Komentar