FSP- TIM :" Musyawarah Kesenian Jakarta oleh DKJ Harus Demokratis!"

  • Redaksi
  • Jumat, 07 Oktober 2022 13:47
  • 98 Lihat
  • Berita Umum

Jakarta l Media Budaya Indonesia - Forum Seniman Peduli TIM yang selama dua malam, tanggal 23-24 September yang lalu menggelar acara Panjang Umur Perjuangan, Menjaga Marwah TIM, kemarin petang menggelar konferensi pers di Posko #saveTIM, di kawasan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.

Konferensi pers yang berlangsung hangat itu, mengungkap sejumlah permasalahan menyangkut hasil revitalisasi TIM. Juga permasalahan yang berkaitan dengan persiapan Musyawarah Kesenian Jakarta, yang akan digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta pada awal November yad. 

Mujib Hermani, salah tokoh FSP-TIM mengemukakan bahwa dari informasi dan temuan yang diperoleh, Dewan Kesenian Jakarta tidak bersikap terbuka dalam menyiapkan musyawarah yang penting itu. 

Ada indikasi kuat, DKJ melanggar ketentuan Pergub Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur mekanisme pemilihan kandidat anggota DKJ masa bakti 2023-2025 yang akan datang. 

“Dewan Kesenian Jakarta belum mengakomodir dengan jelas keterwakilan seniman yang ada di luar lembaga DKJ dan AJ dalam Musyawarah Kesenian Jakarta. Tidak benar, dan sangat salah, jika Panitia Pengarah atau Steering Comitte dan Panitia Pelaksana Musyawarah, diduduki oleh mayoritas anggota DKJ. Prinsipnya, DKJ sebagai fasilitator musyawarah, harus terbuka, demokratis, dan memberi ruang bagi para seniman yang bergiat di lima kawasan Jakarta. Kawan-kawan seniman teater, sastra, tari, baik yang tergabung dalam asosiasi atau individu, harus dilibatkan secara aktif dalam panitia pengarah, panitia pelaksana, dan juga sebagai peserta musyawarah. Mewakili FSP-TIM, saya menegaskan jika hal tersebut tidak diindahkan kami, beserta kawan-kawan seniman dari seluruh wilayah akan mengambil sikap tegas!” ujar Mujib Hermani dalam Konferensi Pers FSP-TIM, Rabu sore (5/10) di Posko #saveTIM itu.

Disebutkan oleh Mujib bahwa Musyawarah Kesenian Jakarta tersebut, adalah yang forum demokratis pertama kalinya dalam sejarah pembentukan DKJ, sejak tahun 1968. “Karena itu, FSP-TIM mengingatkan, agar musyawarah tidak boleh dicederai. Wajib dijalankan dengan benar. Pergub itu tidak boleh ditafsirkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Anggota DKJ yang akan datang harus punya integritas dan komitmen yang kuat sebagai representasi seniman se-Jakarta. Juga punya komitmen dan kepedulian terhadap masa depan Taman Ismail Marzuki, yang sekarang ini sedang bermasalah!” 

Tokoh FSP-TIM lainnya, Mogan Pasaribu, yang dikenal sebagai pimpinan kelompok musik Lokal Ambience,  mengungkapkan pula tentang hasil revitalisasi TIM yang tidak sesuai dengan kebutuhan para seniman. “Sudah hampir tiga tahun perjuangan FSP-TIM mengawal revitalisasi TIM. Dengar pendapat sudah berlangsung dengan DPRD DKI Jakarta, dan Komisi X DPR RI. Pembangunan yang dilakukan Jakpro pernah pula dimoratorium, karena tidak mengindahkan masukan dari FSP-TIM. Lalu FGD sudah dilakukan sampai  delapan kali. Tapi tidak semua masukan yang kami sampaikan diterima oleh Jakpro. Masukan kami untuk fasilitas di GBB baru, Teater Arena, dan Teater Halaman diabaikan.  Hasilnya, buruk semua. Tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas pertunjukan. Wajah baru TIM, seperti yang disebut-sebut oleh Jakpro itu cuma kamuflase saja. Isinya tidak sesuai dengan kebutuhan seniman!”

 “Dewan Kesenian Jakarta sebagai stakeholder TIM, dan perwakilan seniman, tidak boleh menutup mata, dan harus bertanggungjawab terhadap kesalahan perencanaan dan peruntukan bangunan yang sangat merugikan seniman itu!”  David Karo-karo, alumni Institut Kesenian Jakarta yang juga tokoh FSP-TIM, menandaskan. Ia menekankan bahwa persoalan revitalisasi fisik TIM yang bermasalah itu tak bisa lepas dari tanggung jawab Dewan Kesenian Jakarta.

Mengenai permohonan uji materiel terhadap Pergub yang memaksakan Jakpro mengelola TIM selama 28 tahun yang sudah diajukan ke Mahkamah Agung RI, kuasa hukum FSP-TIM, Effendi Saman, SH, menjelaskan bahwa permohonan sudah diregister oleh pihak Panitera MA, pada bulan Agustus yang lalu. “Sekarang ini pihak kami sedang menunggu Majelis Hakim Agung bersidang. Ada waktu paling lama empat bulan, sampai majelis Hakin Agung memutuskan.” ujarnya. 

“Bahwa yang kami gugat adalah kebijakan Gubernur yang tidak benar itu. Bagaimana mungkin perusahaan kontraktor diserahi tugas mengelola kawasan kesenian seperti TIM ini. Apalagi ada indikasi akan dikomersialisasi. Kami berharap, MA dapat memberikan keputusan yang jernih, sehingga hasil putusannya dapat menjadi pegangan pula bagi kawan-kawan seniman di daerah, yang mengalami persoalan yang serupa, akibat kebijakan pemerintah yang merugikan seniman.” 

Effendi menambahkan pula kemungkinan mengajukan persoalan revitalisasi TIM ke pengadilan pidana, sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran pidana yang ditemukan.

Menutup gelar konferensi pers itu, Tatan Daniel membacakan “Manifesto Cikini 73”. Lima butir pernyataan dan seruan yang dirumuskan oleh FSP-TIM pada tanggal 23 September yang lalu, yang diharapkan didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah, di pusat maupun di daerah, selaku pemangku kepentingan, khususnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dibidang kebudayaan dan kesenian. 

Manifesto Cikini 73 yang menurut FSP-TIM lahir oleh karena sejumlah permasalahan yang mengancam marwah Taman Ismail Marzuki sebagai kawasan kesenian itu, selengkapnya berbunyi:

1. Laksanakan amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan secara  tegas, dan bertanggung jawab,  dengan segera menerbitkan perangkat ketentuan pelaksanaan yang komprehensif, untuk dapat dipedomani dan dilaksanakan, baik di tingkat nasional maupun daerah;

2. Selamatkan dan lindungi ruang-ruang ekspresi kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Remaja, Taman Budaya, Gedung Kesenian di mana pun di negeri ini, dari penggerusan nilai, marwah, sejarah, kedudukan, tujuan, dan fungsinya, oleh kehendak kapitalistik baik dalam pikiran maupun tindakan;

3. Berdayakan Dewan Kesenian sebagai perwakilan seniman yang independen, dengan tidak diarahkan menjadi subordinasi pemerintah, dan tidak dikooptasi oleh kekuasaan yang tidak memihak pada kepentingan seniman dan kemaslahatan kesenian;

4. Berikan dan lindungi hak-hak sosial, kultural, dan konstitusional para seniman untuk hidup layak dan berkarya dengan aman, nyaman, mudah, lapang, dan merdeka;

5. Mendesak pemerintah, terutama yang akan datang, agar membentuk Kementerian Kebudayaan yang memiliki  kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam melindungi dan  memajukan kebudayaan nasional.(Zul/*Red)

Pemkot Jakarta Pusat # Media Budaya Indonesia #

Komentar

0 Komentar