Situs Megalitikum Batu Panjang Jahim Ciamis

  • Redaksi
  • Minggu, 08 Mei 2022 18:04
  • 112 Lihat
  • Berita Umum

Tasikmalaya l Budaya Indonesia - Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 1000 meter persegi. Bagi sebagian masyarakat,  pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung  karena terkait dengan  keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. Gunung Bitung  sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali.  

Beberapa literatur menyebutkan bahwa  Gunung Bitung merupakan cikal bakal KerajaanTalaga.
Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan  panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatar belakangi penamaan kabuyutan.
Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng  bukit dengan arah memanjang timur laut– barat daya.  Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur  merupakan bagian  yang menurun, sekaligus *sebagai gerbangnya,* berhadapan tepat dengan jalan aspal. 
Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit.  Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar  terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya.  Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.

Menurut keterangan Ki Idi Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun,  *wilayah sakralnya* berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus.  Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan psosisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung. Tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu  yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.

Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut  juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan *lawang masuk ke area utama.* Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga.
Kabuyutan batu panjang Jahim memenuhi unsur tradisi megalitik. Adanya menhir dari  batu yang masih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk,memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini *merupakan wilayah sakral  terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan.*

Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati?  Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno.  Bisa saja hal itu benar,  bahwa jaman baheula (dahulu) ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini  adalah punden berundak.
Analisa sementara menurut abah Idi Sahidin, dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada juga yang menyebutkan bahwa Sawah Lega (hamparan sawah) yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan danau purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.
Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijingini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.
Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya  berdiri Gunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya.  Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya  yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. 
(*Roedjul)
Sumber : Perhutani (Kom-PHT/Cms)

Komentar

0 Komentar