PERPOL 10/2025 HANYA "MENYEBUT" BUKAN "MENGATUR" LEMBAGA LAIN

  • Redaksi
  • Sabtu, 20 Desember 2025 13:51
  • 15 Lihat
  • Polri

Jakarta, Media Budaya Indonesia. Com -Polemik seputar Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 kembali memunculkan kesalahpahaman klasik dalam membaca kewenangan lembaga negara. Kritik yang menyebut Perpol tersebut sebagai bentuk perluasan kewenangan lintas lembaga atau bahkan pelanggaran terhadap prinsip konstitusional, pada dasarnya berangkat dari kegagalan membedakan antara peraturan yang bersifat internal dengan dampak lintas sektor dan peraturan yang secara normatif memang dimaksudkan untuk mengatur lembaga lain. Dalam sistem hukum Indonesia, pembedaan ini bukan sekadar teknis, melainkan prinsipil.

Perpol 10 Tahun 2025 secara tegas merupakan peraturan internal Polri. Subjek yang diatur adalah anggota Polri aktif, bukan kementerian atau lembaga lain. Norma yang dibentuk tidak menciptakan kewajiban baru bagi instansi di luar Polri, tidak mengubah struktur jabatan di kementerian atau lembaga negara, dan tidak memaksa lembaga mana pun untuk menerima anggota Polri. Yang diatur semata-mata adalah tata kelola administratif bagaimana Polri menugaskan personelnya ketika negara, melalui mekanisme yang sah, membutuhkan kompetensi kepolisian di luar struktur organisasi Polri.

Model pengaturan seperti ini sama sekali bukan hal baru. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, hampir seluruh lembaga negara memiliki regulasi internal yang mengatur penugasan aparatur mereka di luar struktur organisasi induk. Tentara Nasional Indonesia, misalnya, telah lama memiliki Peraturan Panglima TNI Nomor 61 Tahun 2018 tentang Penugasan dan Pembinaan Karier Prajurit dalam Jabatan di Luar Struktur TNI. Peraturan tersebut mengatur bagaimana prajurit aktif dapat ditempatkan pada jabatan di luar struktur TNI, dengan tetap mempertahankan status keprajuritan dan sistem pembinaan internal. Peraturan itu tidak pernah dianggap melanggar konstitusi, tidak dituding sebagai upaya militerisasi sipil, dan tidak dipersoalkan sebagai intervensi terhadap lembaga lain.

Hal yang sama juga berlaku di Kejaksaan. Melalui Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021, Jaksa Agung mengatur penugasan pegawai Kejaksaan, termasuk jaksa fungsional, pada instansi pemerintah maupun di luar instansi pemerintah. Norma tersebut murni mengatur aspek internal kepegawaian Kejaksaan: siapa yang dapat ditugaskan, bagaimana mekanismenya, serta bagaimana pembinaan dan pengawasan dilakukan. Tidak ada satu pun norma yang mengatur atau membatasi kewenangan lembaga tujuan. Namun faktanya, jaksa aktif telah lama bertugas di berbagai lembaga negara tanpa pernah menimbulkan kegaduhan konstitusional.

Bahkan dalam ranah yudisial, Mahkamah Agung memiliki Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur penugasan hakim dalam konteks tertentu, termasuk pada pengadilan khusus atau forum lain yang relevan dengan fungsi peradilan. Di ranah eksekutif, hampir semua kementerian memiliki peraturan menteri tentang penugasan pegawai ke lembaga lain, satuan tugas lintas kementerian, atau badan independen. Seluruhnya memiliki pola yang sama: peraturan internal, subjek internal, tetapi berdampak lintas sektor.

Dengan kerangka ini, menilai Perpol 10 Tahun 2025 sebagai peraturan lintas lembaga adalah kekeliruan konseptual. Menyebut adanya daftar kementerian atau lembaga dalam Perpol tidak serta-merta menjadikannya peraturan yang mengatur lembaga lain. Penyebutan tersebut hanya berfungsi sebagai batasan internal bagi Polri mengenai ke mana anggotanya dapat ditugaskan, bukan sebagai norma yang mengikat lembaga tujuan. Dalam hukum administrasi negara, membedakan antara "mengatur subjek sendiri" dan "mengatur pihak lain" adalah dasar paling elementer.

Lebih jauh, tudingan bahwa Perpol ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak berdiri di atas fondasi hukum yang kokoh. Putusan MK tidak pernah melarang penugasan aparatur keamanan atau penegak hukum ke luar struktur organisasinya, sepanjang tidak mengubah fungsi konstitusional, tidak menciptakan kewenangan baru, dan tidak melanggar prinsip supremasi sipil. Perpol 10 Tahun 2025 tidak melakukan satu pun dari pelanggaran tersebut. Ia hanya menertibkan praktik penugasan yang sudah lama ada agar berada dalam koridor administrasi yang transparan dan akuntabel.

Jika Perpol Polri dianggap melampaui kewenangan karena berdampak lintas lembaga, maka secara konsisten kritik yang sama seharusnya juga diarahkan kepada Peraturan Panglima TNI, Peraturan Kejaksaan Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan ratusan peraturan menteri yang mengatur penugasan pegawai ke luar instansi. Ketidakkonsistenan inilah yang membuat kritik terhadap Perpol 10 Tahun 2025 lebih tampak sebagai kegaduhan politik dan opini personal, bukan sebagai analisis hukum yang objektif.

Dalam negara hukum, perdebatan kebijakan tentu sah. Namun kritik harus dibangun di atas pembacaan yang jernih terhadap jenis peraturan, subjek hukum yang diatur, serta batas kewenangan pembentuknya. Perpol 10 Tahun 2025, sebagaimana regulasi serupa di TNI dan Kejaksaan, adalah instrumen internal yang diperlukan untuk menjaga ketertiban administrasi penugasan aparatur negara. Menyerangnya dengan narasi inkonstitusional justru berisiko merusak rasionalitas diskursus publik dan mengaburkan prinsip dasar hukum tata negara itu sendiri.

(R. HAIDAR ALWI
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB)

Pendiri Haidar Alwi Institute #Mabes Polri# Polda Metro Jaya# Media Budaya Indonesia. Com#InfoCyber.Id

Komentar

0 Komentar