Dede Farhan Aulawi Sampaikan Analisis Sikap Insubordinasi Pasukan Wagner

  • Redaksi
  • Jumat, 30 Juni 2023 10:46
  • 75 Lihat
  • Berita Umum

Bandung l Media Budaya Indonesia.com - “ Banyak masyarakat dunia dibikin kaget dan heran ketika tentara bayaran Wagner menyatakan hendak menyerbu ibu kota Rusia, Moskow setelah menduduki Rostov. Padahal sebelumnya diketahui bahwa pimpinan wagner yang bernama Yevgeny Prigozhin merupakan teman dekat Presiden Vladimir Putin. Menanggapi aksi pasukan Prigozhin, tentu saja membuat Kremlin marah sehingga menyebut Wagner melakukan pengkhianatan. Klausul ‘PENGKHIANATAN’ dalam terminologi negara tentu saja mengandung resiko sangat tinggi “, ujar Pemerhati Pertahanan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Senin (26/6).

Hal tersebut ia sampaikan ketika menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan awak media melalui whatssapp-nya. Menurutnya, meskipun langkah perlawanan wagner ini ditujukan kepada  Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan Jenderal Angkatan Bersenjata Valery Gerasimov, tetapi walau bagaimanapun akan merusak simbol wibawa negara yaitu Putin. Karena menterinya Putin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Putin. 

Hal mendasar yang menjadi pemicu dan sekaligus perlawanan dari pasukan wagner terhadap Rusia  ini adalah tudingan bahwa pasukan Rusia dianggap telah menyerang kamp Wagner sehingga menewaskan banyak personil wagner. Disamping itu, militer Rusia juga dituding menolak supply amunisi dalam rangka memenuhi kebutuhan wagner dalam perang melawan Ukraina ini. Akibatnya Ia bersumpah akan membalas dan berencana menyerbu Moskow. Dari sisi lain, pemerintah Rusia dengan tegas telah membantah adanya serangan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah benar ada serangan ? Jika benar ada serangan terhadap wagner, maka siapakah yang menyerangnya ? Bagi masyarakat umum tentu ‘mengherankan’, tetapi dari perspektif intelijen tentu mudah untuk dipahami.

Menariknya jika melakukan komparasi terhadap penilaian dari peneliti senior Inggris Royal United Service Institute (RUSI), Joana de Deus Pereira yang mengatakan Prigozhin menganggap dirinya memiliki profil penting di Kremlin. Begitupun pendapat pakar transformasi Eropa-Timur pasca komunis dari Universitas Oxford, Vlad Mykhnenko yang mengatakan bahwa Prigozhin tampak membutuhkan peran publik yang lebih besar di Rusia. Jika merujuk pada dua pendapat peneliti senior tersebut, maka dapat disimpulkan ada gangguan psikologis saat keliru dalam menilai posisi diri.

Lebih lanjut Dede menambahkan bahwa untung saja kelompok tentara bayaran swasta Rusia Grup Wagner ini akhirnya menangguhkan pemberontakan bersenjatanya terhadap Moskow atas peran aktif dari mediasi presiden Belarusia Alexander Lukashenko. Tentu saja dari mediasi tersebut ada kesepakatan – kesepakatan yang dibuat, misalnya Rusia diminta untuk tidak menghukum pemimpin Grup Wagner, Yevgeny Prigozhin dan tentaranya. Dilain sisi Rusia juga memeinta agar pasukan wagner mundur ke Belarusia. Kemudian alasan normatifnya ditujukan untuk menghindari pertumpahan darah. Akhirnya wagner pun mundur dari Rostov-on-Don di selatan Rusia, dan Kremlin membatalkan tuntutan pidana terhadap Prigozhin setelah kesepakatan tercapai.
 
Kemudian mungkin muncul sebuah pertanyaan, kenapa mediatornya harus Presiden Belarusia ? Jawabannya sederhana karena Prigozhin ini adalah sahabatnya juga, sebagaimana ia pun bersahabat dengan Putin. Dengan demikian hubungan pertemanan bisa menjadi instrumen dalam melakukan negosiasi dengan para pihak yang bertikai.

Kenapa bisa muncul pasukan bayaran ? jawabannya karena adanya ‘demand’ terhadap mereka. Di sisi lain banyak warga negara yang butuh lapangan kerja alias penghasilan. Akhirnya loyalitas pasukan bayaran itu bukan pada negara atau ideologi, tetapi kepada ‘UANG’ sebagai pondasi alasan kenapa mereka ingin bergabung. Itulah sebabnya anggota pasukan bayaran ini kebanyakan adalah narapidana yang sering berurusan dengan pelanggaran hukum. Dengan alasan gaji tinggi inilah, Wagner berusaha menawarkan ‘lowongan kerja’ tersebut kepada para pejuang asing seperti dari Turki, Serbia, Ceko, Polandia, Hongaria, Jerman, Kanada, Moldova, dan Amerika Latin. Adapun besaran gaji mereka adalah sekitar US$3 ribu (setara Rp45 juta) sampai US$5 ribu (setara Rp75 juta) sebulan dalam kondisi damai. Namun dalam kondisi perang, gajinya sekitar US$10 ribu (setara Rp151 juta).

Lebih lanjut Dede juga menguraikan bahwa Wagner Group sebenarnya bukan satu-satunya pasukan elite bayaran yang paling ditakuti di dunia, karena disamping Wagner Group, masih ada beberapa pasukan elite bayaran lainnya. Misalnya saja adalah Academi atau Black water yang merupakan perusahaan keamanan dan kombatan swasta yang memiliki fasilitas latihan seluas 7.000 hektare di North Carolina.

Kemudian ada lagi Defion Internacional yang merupakan perusahaan militer swasta yang merekrut dan melatih personel keamanan, personel logistik, personel administrasi, dan personel layanan tempur profesional di seluruh dunia. Tentara bayaran ini pernah ditugaskan untuk melindungi Zona Hijau di Irak. 

Ada juga Aegis Defense Services yang merupakan perusahaan penyedia layanan jasa keamanan PBB, dan berbagai perusahaan minyak dunia. Kemudian ada Triple Canopy perusahaan keamanan yang menampung para mantan veteran pasukan elite Angkatan Darat AS dan personel Delta Force. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 5.000 orang. 

Di samping itu ada juga G4S Secure Solutions yang merupakan perusahaan layanan keamanan terbesar kedua di dunia. Mereka mempekerjakan sekitar 625.000 orang dan beroperasi di lebih dari 125 negara. Lalu ada DynCorp yang merupakan perusahaan keamanan dan kombatan bayaran yang bermarkas di Virginia, AS. Mereka merupakan satu dari delapan perusahaan militer swasta yang secara khusus pernah ditunjuk Kemenlu AS untuk tetap di Irak ketika Pentagon menarik pasukan militer dari negara itu. Grup militer swasta ini memiliki pendapatan mencapai US$ 3,4 miliar per tahun. Operasi besar yang pernah mereka lakukan di antaranya di Afrika, Eropa Timur dan Amerika Latin dengan jumlah personel mencapai 10 ribu orang. Salah satu pencapaian terbesar DynCorp adalah setelah memukul mundur pasukan pemberontak Kolombia pada awal 2000-an. Pasukan bayaran ini juga pernah bertugas dalam misi anti-narkoba di Peru, serta melucuti para pemberontak di Somalia, Liberia, hingga Sudan selatan.

“ Itulah sedikit gambaran dalam mengenal supply dan demand-nya pasukan bayaran di banyak negara. Loyalitas mereka pada ‘UANG’, sehingga inilah sumber kelemahan mereka sendiri yaitu uang. Siapa yang mau membayar dengan bayaran yang lebih tinggi otomatis akan menjadi ‘majikan barunya’. Disinilah kemampuan intelijen reguler dalam mengawasi mereka menjadi sangat penting agar tidak terjadi pengkhianatan, maka penguasaan strategi dan teknik ‘Mercenaries Handling’ menjadi sangat penting," pungkas Dede.(AFG)

Bandung #Dede Farhan Aulawi#Media Budaya Indonesia.com#

Komentar

0 Komentar