Religiusitas Dalam Membangun Kepemimpinan Berintegritas

  • Minggu, 15 Mei 2022 12:23
  • 92 Lihat
  • Tokoh

BANDUNG | Budaya Indonesia - 
Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati SDM).

Penjelajahan waktu di setiap langkah organisasi dalam mencari sosok seorang pemimpin akan bermuara pada nilai – nilai integritas yang dimiliki oleh para calon pemimpin yang ada. Tidak berhenti sampai di sana karena estafeta kepemimpinan harus terus berjalan, maka tercetus sebuah pertanyaan bagaimana mempersiapkan dan memperbaiki setiap kader kepemimpinan di masa depan yang lebih baik. Narasi kalimat tersebut tentu tidak sekedar berhenti pada soal tanya jawab, sebab ada substansi yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut, yaitu sulitnya mencari calon pemimpin yang berintegritas. Akhirnya dibuatlah sebuah keputusan dengan setengah keputusasaan yaitu sekedar mencari yang terbaik dari yang ada, bahkan terkadang sangat jauh dari parameter ideal calon pemimpin yang diharapkan sesuai dengan kriteria yang dicita-citakan. ( 15/5/2022 )

Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi para pemikir yang masih mau menyisihkan sebagian waktu dan akalnya untuk masa depan bangsa yang lebih baik, yaitu bangsa yang dihiasi oleh jati diri yang telaten dalam menjaga marwah dan kehormatan sebuah bangsa. Apakah hati dan bathin kita tidak pernah merintih sakit dan malu ketika indeks persepsi korupsi di negeri ini masih memprihatinkan. Apakah mungkin kita masih bisa acuh tak acuh atau beralibi bahwa masalah tersebut bukan masalah kita ? Bagaimana kita masih bisa tenang dan tertawa lebar ketika negeri tercinta ini masih digambarkan begitu memprihatinkan. Jika bukan kita para cendekia yang memiliki tanggung jawab, lalu kepada siapa tanggung jawab itu akan kita lemparkan. Apalagi bangsa ini juga dikenal sebagai bangsa dengan religiusitas yang tinggi, kemudian apa yang salah. Apakah ajaran moral dan agama yang masih belum cukup ataukah para pemeluk agama ini belum bisa menerapkan ajaran agama dan moralnya dengan baik ? Sungguh sebuah renungan supernormatif yang harus tergagas dari lubuk sanubari yang terdalam sebagai bagian dari entitas bangsa yang bermoral, berintegritas dan beragama.

Orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada dirinya ada keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Jika seorang pemimpin tidak memiliki keselarasan antara ucapan dan perbuatan, lalu kepada siapa masyarakat yang di bawah bisa bercermin untuk menemukan sosok yang penuh ketauladanan. Barangkali ini problem utama kepemimpinan di negeri ini karena sulitnya mencari sosok pemimpin yang berintegritas sehingga dipercaya oleh bawahan dan masyarakat lainnya. Kata – katanya bisa dipegang dan janjinya bisa ditepati. Jika pemimpin bohong dan ingkar janji, lalu kepada siapa masyarakat bisa menyandarkan harapan dan jaminan masa depan sehingga bisa hidup bahagia dan tenang.

Di dalam integritas terkandung makna kejujuran (al-shidq) dan konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan amanah. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang dimensi batinnya sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya satu frekuensi dengan ucapannya. Ia akan senantiasa menjauhkan diri dari unsur hipokritas dan kemunafikan. Itulah sebabnya Allah SWT mengingatkan dalam al Qur’an, ''Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan '' (QS Shaff, 2-3).

Inilah yang menyebabkan bahwa masyarakat selalu haus dan dahaga dalam menanti lahirnya pemimpin – pemimpin yang berintegritas, yang bisa dipercaya karena satunya kata dan perbuatan. Masyarakat sudah sangat bosan mendengar nyanyian indah yang dilantunkan tetapi tidak sejalan dengan perbuatan yang dilakukan.

Terkait dengan hal ini, kita ingat tulisan Karl Gunnar Myrdal yang menilai negara kita sebagai soft state alias negara lunak karena menganggap pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, sehingga kehilangan kepekaan terhadap penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi misalnya, lebih-lebih korupsi dalam format conflict of interest. Lemahnya standar moral mengakibatkan krisis multi dimensional, termasuk krisis kepercayaan yang menjadi landasan mutlak efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.

Sila pertama dalam dasar negara Pancasila, sejatinya merupakan komitmen yang jelas bahwa  “Indonesia merupakan negara yang berketuhanan”. Namun prinsip dasar sila pertama tersebut tampaknya tercabik dan luluh lantak oleh fakta marak dan merajalelanya perilaku korup di hampir semua lini birokrasi. Seakan ada blank spot dalam pertimbangan moral di setiap tindakan sosial, politik, hukum, budaya, dan yang lainnya yang mencerminkan rendahnya kualitas moral sebagai suatu bangsa. Ini kesenjangan das sollen, apa yang seharusnya dengan das sein, apa yang senyatanya.

Kita jadi teringat sabda Rasulullah yang menjelaskan tiga ciri orang munafik, yaitu Bila berkata, bohong. Bila berjanji, ingkar. Bila diberi amanat, khianat. Oleh karena itu, misi kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah mengkampanyekan kembali nilai-nilai luhur moralitas, sebagaimana sabdanya, “Aku diutus untuk menyampurnakan budi pekerti / akhlaq (makarim al-akhlaq) ”.  Dengan demikian nabi Muhammad  SAW merumuskan misi profetiknya sebagai “penyempurna akhlak mulia”. Artinya, orientasi doktrin Islam adalah masalah akhlak atau moralitas. 

Melalui nabi Muhamad SAW kaum Muslim belajar tentang bagaimana menjadi pribadi yang berintegritas, yaitu pribadi yang sidiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Bila dirumuskan, tesis utama dari integritas profetis Nabi adalah bahwa, orang akan melakukan tindakan yang baik dan menghindari yang buruk jika memiliki kesadaran bahwa Allah selalu hadir, menatapnya. Orang akan berintegritas bila ia yakin betul bahwa, Allah menatapnya tanpa jeda. Inilah yang disebut sebagai ihsan. Esensi ihsan terletak pada kesadaran akan kehadiran Allah yang selalu menatap dan mengawasi. Proses penyerapan kesadaran bahwa Allah melihat, mengawasi, dan memonitor diri dalam gerak dan diam, lahir maupun batin disebut muraqabah.  Penggapaian kesadaran akan kehadiran Allah itu tentu membutuhkan iman yang kokoh. Kekokohan iman pada Allah lahir dari pengetahuan (ma’rifah) yang benar tentang Allah. Pengetahuan tentang Allah diraih melalui pengenalan terhadap nama-nama (asma’) dan sifat-sifat Allah yang diperkenalkan melalui wahyu-Nya, al-Quran. Jadi, muraqabah tidak mungkin diperoleh seseorang yang tidak mengetahui, mengenal Allah sebagai raqib.
( Cp )

Komentar

0 Komentar